Minggu, 20 Februari 2011

Rasulullah..

Rasulullah. . .
Oleh: Iis casmiati
Untaian demi untaian kata kucoba rangkai
Kurangkai menjadi ungkapan yang mewakilkan perasaanku
Namun sulit! Begitu sulit..!
Entah… Rasanya lidah ini terlalu kelu tuk ungkapkannya
Bahkan deretan kata-kata indah sekalipun,
Sepertinya tak mampu mewakilkan betapa sempurnanya akhlakmu

Ya Rosul. . .
Betapa ingin aku mencontoh akhlakmu!
Betapa ingin aku berada disampingmu,
menyaksikan sendiri betapa sempurnanya sosokmu
Betapa ingin aku bisa mencintaimu setulusnya!
Sebenar-benar aku cinta, ya Rosul!
Cinta yang tak sekedar kata
Cinta yang tak sekedar sayang
Cinta yang tak sekedar perasaan
suka aja!

Aku membutuhkan cinta yang hakiki!
Seperti cinta sang surya pada alam semesta
yang karna cinta pada Allah,
Dengan rela ia memberi sinarnya untuk menerangi alam semesta
Dengan rela ia menyelimuti dinginnya alam ini penuh kehangatan

Aku membutuhkan cinta yang sejati!
Cinta yang dapat mengalahkan amarah
Cinta yang menebar keharmonisan
Cinta yang ikhlas dan tulus. .
Seperti tulus dan ikhlasnya cintamu pada Illahi

Ya Rosul. . .
Betapa ingin aku memiliki rasa cinta itu
Cinta tertinggi menuju kebahagiaan yang hakiki

antara aku dan mereka

yah.. aku memang berjalan bersama mereka
aku selalu ada di antara mereka meski tak nyaman
aku selalu mencoba hadir di setiap mereka ada
mencoba mengimbangi obrolan mereka
yang sebenarnya lebih banyak yang tak kumengerti

tapi semua seolah semu
mereka tak mengenalku
aku tak mengenal mereka
aku bahkan tak tau apapun tentang mereka
aku benar-benar jauh dari mereka
meski fisik begitu dekat
yah... hanya dekat dipandang dari luar
orang-orang tak tau saja faktanya

sebenarnya..aku ingin mengenal mereka
tapi..entah rasanya diri ini terlalu jauh dari mereka
seolah ada jarak yang begitu panjang
memisahkan aku dan mereka
entah apa itu.. aku tak mengerti sungguh

aku bagai bunglon..

aku bagai bunglon..
sosok yang gampang berubah karna pengaruh lingkungan
bahkan kadang harus berdusta atas kepribadian yang bukan diriku

aku bagai bunglon..
yang begitu mudah merubah warna
seolah memiliki banyak kepribadian yang berbeda

kepribadian yang mungkin bukan diriku yang sebenarnya
kepribadian yang berbeda di tempat yang berbeda

bersama mereka..aku tak mampu menjadi diriku yang sebenarnya
rasanya sulit..tapi entah karena apa!
aku merasa jauh saja, aku merasa tak dianggap
bahkan bisa dikatakan mungkin aku tertekan bersama mereka

aku bagai bunglon..
ketika tak bersama mereka,
bisa dengan bebas mengekspresikan diri
menjadi apa yang ku mau
menjadi diriku yang seutuhnya tanpa topeng

bersama mereka..aku hanya mampu
menjadi sosok pendiam,
penurut, pengikut, dan pendengar setia

aku bagai bunglon..
karena ditempat lain,
aku tak seperti itu
aku menjadi sosok diriku yang sesungguhnya
sosok yang periang, childish, autis
hiperaktif, penuh ide, pintar dan lucu
bukan si pendiam yang tak tau apa-apa

andai mereka tau siapa aku..
hah..pasti mereka akan terkejut!
terkejut dengan kepiawaianku ber-acting di hadapan mereka

Selasa, 08 Februari 2011

Merah Marun Pengundang Perhatian

Pagi itu.. aku bangun lebih pagi dari biasanya, entah apa yang membuatku akhirnya bisa bangun sepagi itu di hari libur –yang selalu seharian kuhabiskan di rumah. Hanya bermain dengan keponakan-keponakan kecilku yang menggemaskan, tidur, nonton tv, yaah.. liburan seolah menjadi ladang bermalas-malas diri, seolah menjadi jam istirahat yang terakumulasi dari hari-hari kerja yang slalu melelahkan.

Bangun tidur, aku tergerak untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri (read : mandi). Mandi pagi..? haha.. entah angin apa yang menggerakanku untuk melakukannya, padahal biasanya di hari libur seperti ini aku paling malas untuk mandi. Hanya mandi ketika akan pergi-pergian saja, sedangkan hari itu aku tak berniat pergi kemanapun tapi seolah ada hal lain yang tiba-tiba menggerakan gayung berisi air untuk melumuri diri ini begitu saja.

Selesai mandi, aku berniat untuk bersantai dengan masker bengkoang. Kusiapkan mentimun untuk menutupi mata –besar coklat indah– ku, mentimun yang begitu segar, lalu kusiapkan pula sleeping bag, tape-recorder juga kaset lagu-lagu klasik yang akan mengiringi ritual maskeranku pagi itu. Setelah siap semua peralatan, akupun keluar menuju balkon –kebetulan kamarku (yang kini jadi milik keponakanku) ada dilantai dua– dan menggelar sleeping bag tersebut tepat di posisi yang begitu nyaman, terkena sinar mentari pagi yang menyehatkan, mengubah pro-vitamin D menjadi vitamin D.. itu yang slalu ku ingat tentang mentari pagi 

Dengan seketika, berpindahlah semua peralatan ritual maskeranku dari kamar ke balkon. Bersiap untuk berbaring, hmm… pelan-pelan ku rebahkan diri ini di atas sleeping bag yang begitu lembut dan wangi –kebetulan baru di laundry kemaren.. hehe– “oow.. ada yang lupa!”, akupun kembali ke kamar. Kalian tau apa yang kulupakan..? aku lupa mengganti air di vas bunga –sedap malam–ku. Akupun mengganti air di vas, lalu kucium bunga kesayanganku itu, hmm… wangi… tak lama kemudian tiba-tiba kudengar hapeku berbunyi.. waah… ada sms!
Perlahan kulihat layar hapeku dan seketika itu pula aku tersenyum girang melihat nama yang tertera di layar, ‘gumiku’. Waah… akhirnya anak itu sms juga! Heu… bahagianya.. tanpa ragu, akupun langsung membaca pesan singkatnya itu, sangat singkat –seperti biasa.
‘ghis dimana? jalan2 yu’
(tanpa berpikir panjang cepat-cepat ku gerakan jemari ini untuk membalas pesannya)
“Hayu hayu! Lg d rumah.. mu kMna emg?”
Beberapa detik kemudian hapeku bunyi lagi
‘jalan2 aja, k 15,poltekpos mungkin polban gimana?’
Hahaha… entah mengapa saat baca smsnya itu aku tertawa.. terbayang wajahnya yang lucu mengekspresikan ajakannya itu. Dia sungguh satu-satunya orang yang mudah mengubah perasaan galauku jadi ceria. Namanya Gumi Aliardhi, teman SMA ku yang dijuluki si anak autis. Gumi orang yang sangat berarti buatku, dia yang mengajarkanku arti persahabatan, membawaku ke dunia out of the box, memperkenalkanku dengan dunia petualangan, sangat mewarnai kanvas-kanvas kehidupanku! Bahkan kadang membuatku tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Ia banyak memberikan pengalaman dan ilmu baru buatku, sang motivator juga buatku, sosok yang luar biasa buatku meskipun aneh dan selalu terlihat cuek. Selintas terlihat jelas raut wajahnya yang konyol itu di pikiranku.

Lalu kubalas lagi pesannya.
“haha. .hayu hayu. .skrg jg nh?”
Beberapa detik kemudian belum ada balasan darinya, cukup lama aku menunggu. Dengan penuh rasa girang, aku membereskan segala peralatan yang sudah kusiapkan untuk ritual maskeran itu. Memutuskan untuk memilih bermain bersamanya daripada mengurus kulit mukaku yang sudah tak seputih dulu itu. Sejak aku main sama gumiku –itu panggilanku untuknya– aku tak pernah lagi memperhatikan penampilan, tak peduli sehitam apa wajah ini, sejelek apa penampilanku ketika bermain dengannya, aku benar-benar tak peduli sekalipun harus memakai piyama untuk bermain dengannya. Selang beberapa detik kemudian, hapeku pun berbunyi lagi, waah.. pasti balesan dari gumiku deh.. dan ternyata memang benar
‘ayo deh, ktmu d gor ya, jgn ad apa2 lg ya, lsung brangkat oke, ak tinggal pake clana da hehe’
“Iya sitU tingGal pke clana. .Gw blum pake bju,clana n krudung mas. .oke oke. .10 menit lagi la yah. .”
Lama tak ada balasan darinya, hupt… sudah kuduga sebelumnya pasti ga akan di balas. Dia kan cuek. Haha.. akhirnya akupun bersiap-siap untuk pergi.

Ku ambil baju merah marun dan kerudung senada yang belum ku cuci, baju bekas kemarin.. hehe (maklum ga ada baju lagi, soalnya baju-baju yang kubawa ke rumah untuk liburan hanya sedikit, sisanya ada di kost-an). Lalu ku ambil pula celana jeans yang biasa kupakai ketika main dengannya, ini juga belum dicuci.. haha, maklum… satu-satunya celana yang aku bawa ke rumah. Setelah sempurna mengenakan baju merah marun, celana jeans dan kerudung yang senada dengan bajunya itu, akupun beranjak keluar kamar dan menyambar tas coklat kecil yang kutaruh di atas lemari baju ponakanku. Akupun mematut-matutkan diri di cermin… hmm cantik! Baju merah marun ini emang cocok dikenakan olehku.. haha narsis!. Usai bercermin, buru-buru aku menuruni tangga dan mencari sepatu hitamku yang baru saja kucuci, lalu akupun pamit ke bunda dan langsung pergi tanpa mengiyakan pesan bunda yang selalu saja bilang “jangan malem-malem yah pulangnya”. Bosan mendengar kalimat itu setiap aku pergi.

Aku menelusuri jalanan dengan penuh keceriaan, entah akan terjadi hal unik apa kali ini, karena biasanya maen ma Gumi itu slalu saja terkesan unik meski sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi semua itu geje. Sampailah aku di tempat yang kami janjikan, gor badminton, tapi dia tak ada.. kemana yah..? biasanya dia datang lebih awal kalau janjian mu ketemuan, tapi sekarang ga ada.. apa mungkin dia ngerjain aku..? wah wah… ngga ngga.. ngga mungkin. Se jail-jailnya dia, gakan mungkin tega jailin aku kaya gini. Aha.. tiba-tiba jari-jemariku lihai menari-nari di tuts hape, ku kirimlah sms untuk memastikan keberadaannya, sejurus kemudian ia membalas.

Dari jauh kulihat sosok itu, tubuh proposional itu terlihat begitu gagah. Ia mengenakan pakaian yang senada dengan yang kupakai, entah hal apa yang membuat kami sekompak itu hari ini. Ia memakai baju berwarna merah yang dipadu dengan jaket batik ungunya, lalu celana jeans dan sandal warna hitam. Mirip denganku! Baju sama-sama bernuansa merah, celana sama-sama jeans dan alas kaki sama-sama warna hitam, seperti janjian saja. Sekedar ngasih tau… selama aku maen ma dia, jarang banget dia pake celana jeans panjang kaya sekarang, terlihat beda. Lebih rapi dan kharismatik.

Dan kalian tau apa hal pertama yang ia tanyakan padaku?. Bukan bukan.. bukan menanyakan kabar. Bukan juga menyampaikan salam selamat pagi ataupun berbasa-basi bilang kangen. Bukan! Kata-katanya jauh di luar dugaan. Setelah melempar senyum manisnya dari kejauhan dan melambaikan tangan penuh semangat, dia menghampiriku dan bertanya “ghis… kenapa sih setiap kita maen, baju kamu selalu bagus?”

Apa..?! sungguh to the point. Pertanyaan tak terduga muncul begitu saja dari mulutnya tanpa basa basi –yah… dia memang tak pernah basa basi, selalu spontan mengatakan apa yang memang ingin ia katakan. Spontan juga kukatakan “hah..? iya yah..? masa sih? Emang baju aku selalu bagus yah..? hehe”. “iya”, sahutnya singkat. “ah masa sih?”, tanyaku memastikan. “iya tau! Kaya mu maen kemana aja! Kita kan cuma jalan-jalan geje doank”

Aku diam sejenak. Emang iya yah..? hmm… ku putar kembali memori otakku, mengenang saat-saat bermain dengannya beberapa hari lalu, hmm.. kalo dipikir-pikir baju yang aku pake emang selalu bagus sih… tapi… ya… emang cuma itu yang aku bawa ke rumah, mu gimana lagi coba?.

“ah masa sih..? engga ah!”, sanggahku. “oh ngga yah..? ya udah”, jawabnya pasrah. Lha..? ni anak kenapa coba? Ga jelas!. “baju aku emang cuma sedikit yang dibawa ke rumah mi! Lagian ini baju kemaren, hehe. Trus celana ini juga yang slalu aku pake tiap maen ma kamu”, kataku menjelaskan, agar ia tak salah sangka dengan baju-baju cantikku yang slalu ku kenakan.

“aku juga pake celana ini terus ko”, katanya mengalihkan. Seketika itu, aku langsung menyanggahnya “ah ngga ah! kemaren ga pake yang ini”, kataku santai. “o iya yah..? hehe”, jawabnya simple. Beuh… ni anak kena siih..?.
Kamipun menelusuri kembali jalanan menuju tempat yang sebenernya aku ga tau mu kemana. Dan saat itu kita cuma berduaan doank maennya, biasanya bertiga ma Derby. Tapi karena Derby masih UAS jadi kita berdua ajah. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal, yaahh… seperti biasa kalau sesi ngobrol-ngobrol kaya gini, biasanya dia lebih cerewet dari aku, dia yang paling banyak cerita tentang apapun yang ingin dia ceritakan, dan aku selalu saja hanya menjadi pendengar setianya. Ketika dia kehabisan cerita, baru nanya-nanya dan nyuruh aku yang cerita. Banyak sebenarnya yang pengen aku certain, tapi entah kenapa selalu speechless kalo disuruh cerita ma dia.. haha… takut terkalahkan cerewetnya kali yah… atau karena terlalu banyaknya yang ingin diceritain, jadi bingung mu mulai darimana, hmm.. atau mungkin grogi kali yah…? Hahaha… ga tau deh… pokoknya aku cuma ngomong kalau dia melayangkan pertanyaan doank, dan biasanya jawaban aku juga simple ga bertele-tele. Entahlah… sepertinya jadi pertanyaan “yang mana yang cewe, yang mana yang cowo sih?”.. hehe

Setelah melewati setengah perjalanan, aku akhirnya sadar sebenernya kita mu ke mana. PolBan (Politeknik Bandung), salah satu kampus yang berada tak jauh dari rumah kami, itulah ternyata tujuan akhir perjalanan kami. Sepanjang perjalanan, aku merasakan sikap yang berbeda darinya, entah mengapa ia begitu perhatian kali ini. Seolah aku anak kecil yang baru belajar berjalan, dan ia menjadi seorang ayah yang selalu memperhatikan gerak-gerik peningkatan sang anak dan berusaha semaksimal mungkin menolong sang anak ketika hampir terjatuh. Ah entahlah… kurasa sikapnya terlalu berlebihan. Ia terlalu menunjukan perhatian, berbeda dengan biasanya yang selalu cuek –meski aku tau ia memperhatikan dibalik kecuekannya itu.

Kami melewati jalan raya, ia selalu menyamakan langkahnya denganku, berjalan di samping kananku agar tak ada satupun kendaraan yang bisa menyerempetku. (padahal dulu, ia selalu berjalan di depanku, tak peduli keberadaanku yang kesepian berada dibelakangnya). Saat mendaki bukit kecil menuju kampus itu, ia berhenti sejenak, memperhatikan, menungguku sampai di puncak bukit, dan memastikan keselamatanku. (dulu ga kaya gitu! Sepanjang jalan, dia ga pernah nengok sedikitpun ke belakang). Trus waktu meloncati bebatuan, menyebrang jalan, berjalan di pinggir jalan raya, ia selalu memperhatikanku. Sebenarnya ada apa dengannya hari ini? Dia terlalu lebay… apa aku selemah itu?. Dulu ku akui selalu ingin diperhatikan seperti itu, sehingga selalu berusaha mengundang perhatiannya dengan menarik-narik tasnya, memanggilnya, mencoba mengimbangi langkah panjangnya, aku juga suka memintanya membantuku menyebrang, karena dulu aku begitu takut menyebrang. Waah.. apa aku begitu lemah dimatanya? Dulu.. mungkin aku memang lemah, tapi sekarang ngga mi!! Aku anak teknik lho! Aku kuat! Aku berani! Aku udah ga selemah dulu waktu SMA –yang sama ulet aja takut. Aku udah berubah gumiku…

Lalu sampailah kami di kampus itu, dengan mendaki bukit dan menerobos perkebunan. Saat mendaki bukit, Gumi mengulurkan tangannya mencoba membantuku naik. Tapi itu cuma bukit kecil mi! Kamu lebay deh… aku bisa!. Lalu sambil mengulurkan tangannya itu, ia bertanya “bisa ga Ghis?”. Aku langsung menjawab dengan mantap “ya bisa lah!”, sambil menangkis uluran tangannya itu. Kemudian tembuslah kami ke sebuah mesjid kampus yang cukup besar. Kami bertemu dengan salah satu teman bimbel Gumi disana, Gumi pun menyapa dan mengobrol ria dengannya, dan taukah kalian..? aku di cuekin donk! Hello…?! Seakan-akan dia membawaku terbang ke langit yang begitu tinggi dengan semua perhatian berlebihannya itu, lalu dengan tega menjatuhkanku ke bumi dengan ke tak acuhannya. Aah… bete juga jadi kambing conge, akhirnya akupun berjalan menyusuri perkebunan itu sendirian, melihat ada pohon jambu, ada jalan menembus ke kelas-kelas, dan ada ruang kosong yang entah ruang apa itu, sepertinya pos satpam yang tak bersatpam.

Setelah bosan dengan petualangan sendiri itu, akupun beranjak menemui Gumi kembali. Dan ternyata dia masih setia mengobrol dengan teman bimbelnya itu. Uuh… bete! Merasa di duakan, heu… kenalin kek! Aku kan jadi geje gini, bingung. Mu ikut nimbrung takut dibilang so kenal, ga menghampiri juga ga tau mu ngapain. Iih… Gumiku jahat deh! Hmm… aku pun memilih untuk kembali bertualang sendiri, sambil sesekali memperhatikan obrolan mereka yang tak jua berakhir. Beberapa saat kemudian obrolan mereka pun usai, lalu Gumi mencariku –yang sepertinya ia baru sadar aku tlah lama hilang dari pandangannya. Akupun menampakkan diri, tak ingin membuatnya berlama-lama mencariku. Lalu kamipun menelusuri semua ruangan disana.

Dari mesjid, kami menuju lapangan, pendopo, tempat parkir, ruang-ruang kelas dan laboraturium semua jurusan, kantin, basecamp tiap himpunan, kolam renang yang sudah tak terpakai, kami benar-benar berkeliling disana. Saat sampai di pendopo, lagi-lagi Gumi menemukan temannya, kali ini teman SMP yang telah lama tak bertemu dengannya. Dan tau apa yang ia lakukan..? yah! Lagi-lagi nyuekin aku! Aah… ga tau mu ngapain, akupun duduk di teras pendopo itu menjadi kambing conge perbincangan mereka. Tapi tiba-tiba teman SMPnya Gumi itu –menyadari keberadaanku– bertanya “waah…siapa tuh?”, akupun langsung menjulurkan tangan dan dengan manis menyebutkan namaku “Ghisya..”, kataku dengan senyuman agak terpaksa, udah lama di cuekin bo! Sejurus kemudian wanita itu melirik Gumi, lirikan yang menyiratkan sebuah pertanyaan ‘siapanya kamu sih?’, sesaat setelah lirikan itu berlangsung sekian detik Gumi langsung angkat bicara “temen aku”, sanggahnya takut dicap yang berlebihan. “ah masa? cewenya kali yah?”, ledeknya penuh canda, aku hanya tersenyum kecut, sedangkan Gumi langsung menyanggah “Bukan bukan. Temen ko”, serunya. Lalu mereka melanjutkan perbincangan tentang masa-masa sekolah mereka dulu. Hmmm… sabar Ghis..

Cukup lama aku jadi kambing conge disitu, lalu akhirnya perbincangan selesai ketika salah satu teman dari wanita itu mengajaknya pulang. Uh… akhirnya! Bisa berjalan berdua lagi tanpa ada pengganggu. Plis donk, jangan ada lagi lah temennya! Ga enak dicuekin mulu. Ya udah deh gapapa, mending dia lebay ajalah daripada harus nyuekin aku lagi. Kami meneruskan perjalanan, kali ini sampailah kami di tempat parkir. Dan disini kami bertemu dengan Topan –teman satu sekolah dulu, syukurnya kali ini bukan hanya temennya Gumi saja tapi temen aku juga. Aku bersalaman dengannya, dan Gumi meminta Topan untuk menjadi guide kami, tapi sepertinya ia tergesa-gesa untuk pulang, jadi kami tetap berjalan-jalan geje berdua disana.

Selang beberapa menit kemudian hapeku bergetar, wah sms dari Topan. ‘ghis maaf ya ga bisa nganter, lagi sakit gigi uy’. Aku hanya bisa tertawa lucu membacanya, dan aku juga sedikit Ge-eR sih.. ternyata Topan masih menyimpan nomor hpku.. huhu bahagianya . Kami masih asik berjalan kemana pun kaki ini ingin melangkah, sampailah kami di kolam renang yang sudah tak terpakai, lalu berjalan lagi menuju lapangan olahraga, disana ada yang sedang berlatih basket. Jadi inget masa SMA deh, dulu aku pernah ngecengin anak yang jago maen basket, bukan bukan… bukan Gumi ko! Hehe.. kemudian menuju basecamp himpunan, dan sok-sok’an jadi anak PolBan, lalu kami ke kantin yang terbesar disana ‘pujasera’ namanya, tapi cuma numpang duduk doank dan hotspot-an gratis.

Setelah merasa puas menelusuri hampir semua tempat di PolBan, kami pun memutuskan untuk pulang. Sebenernya saat sampai PolBan, aku langsung sms temen-temen SMA yang kuliah disini, tapi sayang… semuanya sudah pulang, karena saat itu hanya ada ujian, jadi… aku hanya menikmati jalan-jalan geje itu berdua saja, seru sih… tapi pasti akan lebih seru lagi kalau mereka juga ikut, karena mereka adalah sobat-aobat karib kami sewaktu SMA, jadi berasa nostalgia jika bisa bermain dengan mereka lagi. Setiap kali kami bermain bersama, Gumi selalu terlihat cuek, autis, kekanak-kanakan, pokoknya dia aneh banget deh, kaya orang gila, hehe… tapi entah kenapa kalau hanya jalan berdua saja denganku –seperti saat ini, sikapnya selalu berbeda. Ia tak lagi autis, meski cuek tapi selalu terlihat care di mataku, itu dulu. Sekarang? Entah mengapa dia begitu lebay menunjukan rasa care-nya itu. Apa karena baju merah marun ini? Entahlah… aku tak mengerti.

Saat pulang juga ia masih begitu perhatian. Menyuruhku berjalan lebih pinggir saat di jalan raya, memegang erat tanganku saat menyebrang, menawarkan aku minuman dan makanan, melepas jaket dan memakaikannya padaku saat hujan –tiba-tiba– turun, dan ia juga mengantarku pulang sampai depan rumah tanpa kuminta (dulu dia gak pernah nganter aku pulang kalau ga aku minta). Kenapa sih dia hari ini? Benar-benar aneh… mungkinkah karena baju merah marun ini..? entahlah…

RESOLUSI 2011

• KULIAH

- rajin masuk kuliah!!
(ga ada alasan apapun wat bolos, termasuk sakit ataupun telat)

- selalu memperhatikan dan mencatat dengan rapi materi yang disampaikan dosen

- kalo ga ngerti, bertanyalah!!
(ke dosennya langsung atau ke asisten atau ke temen deh kalo malu)

- mempelajari terlebih dahulu materi yang akan disampaikan dosen

- mengulang materi-materi yang udah dipelajari di kelas, banyak latihan soal juga!

- tidak ada hari esok selagi kamu bisa mengerjakannya sekarang!! Ga pernah menunda pekerjaan! (tugas kuliah,tugas organisasi, tugas etos, tugas pribadi)

- nilai-nilai ujian selalu memuaskan (min. B)

- IP semester4 harus lebih dari 3!!

- terus berusaha untuk lebih mencintai MATERIAL!!



• ORGANISASI

- bisa professional jadi wakadept SD PAS
- menjadi wakatim medik acara besar PAS
- selalu hadir tepat waktu dalam rapat (rapat PAS, rapat BEM Etos, rapat MTM)
- lebih professional menjadi staf divisi sosial MTM
- lebih professional menjadi sekretaris BEM Etos
- ga pernah bolos rapat, menyalurkan ide saat rapat


• SPIRITUAL

- Solat tepat waktu!!
- Solat berjamaah min. 3x sehari
- Solat rawatib min. 3x sehari
- Solat dhuha min. 3x seminggu
- Solat tahajud min. 2x seminggu
- Baca Al-qur’an plus artinya min. 2lembar perhari
- Intensif menghafal Al-qur’an (min. 1 ayat dalam 2 hari)
- Intensif puasa senin-kamis
- Jaga sikap ma ikhwan
- Kurangi pergi ke kampus pake celana jeans

• HOBI

- Novel pertama selesai selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2011
- Membukukan kumpulan puisi
- Intensif bikin cerpen
- Numpang baca di gramedia min. tamat 1 buku perbulan

• yang mau di BELI taun ini:

- Notebook (kalo bisa warna pink ) 11-11-11
- Modem
- Hape baru (internet, mp3, kamera)
- Magic com
- Baju batik
- Buku-buku MATERIAL!!
- Buku psikologi
- Kamus Alfa-link
- Kamus inggris-indonesia
- Kamus Indonesia-inggris
- Grammar
- Buku toefl


_iis casmiati_
13709034
Teknik MATERIAL!!

Minggu, 26 Desember 2010

AKULAH SATU-SATUNYA!!


Sejak duduk di bangku SMA, aku sudah tak punya sedikitpun niat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi alias kuliah. Dapat bersekolah di Sekolah Menengah Atas saja sudah merupakan keajaiban yang luar biasa bagiku. Bahkan sejak kelas 2 SMP pun, aku sangat bingung untuk melanjutkan sekolah, karena saat itu ayah terkena penyakit stroke dan membuat Mamah harus banting tulang menggantikannya mencari nafkah untuk memberi makan kami. Kakak-kakakku yang lain sudah berkeluarga dan pasti sibuk mengurus keluarga masing-masing, sehingga mereka tak banyak membantu keuangan kami. Aku merasa sangat kasihan pada Mamah yang harus bekerja –hanya sebagai buruh cuci dan pengasuh bayi di rumah tetangga sepanjang hari dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore, dan lebih parahnya lagi beliau hanya di beri upah 10ribu perhari, itu sangat memprihatinkan. Belum lagi, Mamah juga harus mengurus kami (aku dan Ayah), memasak, mencuci dan kegiatan-kegiatan ibu lainnya, sungguh hal itu membuatku sedih.
Aku yang setiap harinya harus pergi sekolah dan pulang sore hanya bisa sedikit saja bisa membantu Mamah, aku hanya membantu menanak nasi ketika Mamah masih bekerja, atau membantu membereskan rumah dan mencuci piring. Apalagi melihat kondisi ayah yang bahkan untuk makan pun beliau sangat sulit, karena tangan kanannya sama sekali tak bisa digerakan, sehingga Mamah yang harus menyuapi Ayah. Sungguh air mataku selalu menetes melihat hal itu. Ingin rasanya aku berhenti sekolah lalu bekerja agar Mamah tak perlu bekerja lagi disana dan tak perlu pusing-pusing memikirkan biaya sekolahku, cukup menjadi sosok istri yang setia mengurus suaminya, dan biarlah aku yang bekerja untuk membiayai hidup kita. Tapi apa yang bisa aku perbuat saat itu? Bahkan bekerja pun mau kerja apa sih anak tamatan SD? Mamah selalu menasehatiku “Neng belajar aja yang bener, biar pinter trus nanti bisa sukses dan memperbaiki kondisi ekonomi kita”. Itulah yang selalu membuatku semangat untuk pergi ke sekolah. Aku ingin jadi orang sukses!
Saat kelas 3 SMP lah puncak rasa sakitku, cukup! Aku tak ingin lagi merepotkan Mamah, aku berniat untuk mencari kerja saja, aku tak punya harapan untuk melanjutkan sekolah. Sampai suatu ketika sahabatku yang juga adalah adik sepupuku, berkata “iis… aku yakin kamu pasti bisa sekolah! Ga mungkin Mamah kamu ngebiarin anak bungsunya cuma sekolah sampe SMP doank. Kakak kamu aja kan bisa sampe STM, kamu pasti lebih dari itu is.. percaya deh!”. Aku hanya mampu menunduk dan menangis, bukan menangisi diriku yang terancam tidak sekolah, tapi menangis karena bingung pekerjaan apa yang bisa anak tamatan SMP peroleh? Jika aku tak bisa mendapatkan pekerjaan, percuma! Itu hanya akan menambah rasa sakit yang Mamah derita. Aku benar-benar bingung.
Keajaiban datang. Ada seorang guru yang sangat baik, beliau melunasi semua hutang SPP ku, dan memberi uang untuk membeli buku-buku paket. Bahkan beliau pun –saat aku lulus– memperjuangkanku untuk tetap bisa sekolah, beliau tau keadaan ekonomi keluargaku. Pak Dayus, itulah panggilan beliau di sekolah. Pak dayus selalu memberiku semangat untuk tetap sekolah, beliau memberiku uang perbulan, dan membantuku untuk sekolah di SMA N 15 secara gratis, namun sayangnya aku tidak lolos seleksi, sehingga harus masuk dengan jalur biasa (harus membayar uang pangkal dan biaya SPP seperti yang lainnya). Akupun diterima di SMA N 15 Bandung dengan jalur biasa, dan itu membuatku bingung! Biaya dari mana? Uang pangkal yang 2.5 juta itu? Belum lagi uang untuk seragam dan uang SPP yang 95 ribu perbulan. Aku tak sanggup membayarnya! Tapi pak Dayus tetap menyemangatiku, bahkan beliau menyuruhku membawa ibu untuk berbicara dengannya. Beliau pun menasehati ibuku untuk selalu mendukungku, tak perlu memikirkan biaya, yang penting sekolah.
Lalu ibu membanting tulang, mencari bantuan agar sekolahku bisa gratis disini. Beliau –ditemani aku– datang ke ruang BK SMA N 15, lalu bertemulah kami dengan Bu Cucu. Dan keajaiban datang. Bu Cucu lah yang akan membiayai sekolahku! Subhanallah.. begitu beruntungnya aku! Akupun berniat akan belajar sungguh-sungguh disini! Tak akan mengecewakan Mamah, Pak Dayus, Bu Cucu dan semua orang yang menyayangiku. Hingga akhirnya banyak prestasi yang kudapat disini. Rangking yang kudapat tak pernah luput dari rangking 3 besar, bahkan aku menjadi salah satu siswi yang dipercaya untuk mengikuti olimpiade fisika sebagai perwakilan dari SMA 15, ikut cerdas cermat fisika juga, dan banyak lagi. Melihat semua prestasiku itu, banyak guru-guru yang menyayangi dan mempercayaiku, begitupun teman-temanku, semuanya terlihat sangat bergantung padaku. Setiap ada pelajaran yang kurang dimengerti, mereka selalu datang padaku untuk bertanya. Aku merasa benar-benar memiliki semangat untuk terus sekolah.
Akhirnya tibalah aku di masa gundah lagi. Lagi-lagi aku sangat bingung. Kini aku duduk di kelas 3, haruskah aku meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?? Rasanya tidak! Kuliah itu mahal! Selain itu, aku gaptek, ga bisa bahasa inggris dan sangat asing dengan kata kuliah, mahasiwa, universitas, hupt.. tak ada satupun anggota keluargaku yang kuliah. Jadi aku benar-benar asing dengan kehidupan mahasiswa. Lalu kuputuskan untuk bekerja. Apalagi melihat Mamah yang masih saja bekerja sebagai buruh cuci, dan semakin repot karena aku yang mulai sibuk, tidak banyak membantu beliau. Mamah pun setuju aku bekerja, bahkan beliau memang lebih menyarankan aku untuk bekerja “Mamah lebih setuju kamu kerja. Kuliah itu mengeluarkan uang, sedangkan kerja kan kamu bisa dapet uang! Mamah bukannya cape kerja dan nyari uang buat sekolah kamu, tapi gimana? Biaya kuliah itu benar-benar mahal Neng! Jujur Mamah ga sanggup. Neng juga tau gimana keadaan ekonomi kita kan?”. Kata-kata itulah yang membuatku bertekad untuk bekerja saja. Tekadku sudah benar-benar bulat saat itu, bahkan aku sudah mulai membuat surat lamaran kerja, meskipun sebenarnya entah mau kerja dimana.
Saat guru-guru tau aku bertekad untuk tidak kuliah, semua langsung menasehatiku. Satu persatu ku dengar kekecewaan mereka ketika mereka bertanya “mau kuliah dimana is?” dan jawabanku hanya satu kalimat “tidak akan kuliah Bu/Pak”. Mulai dari guru fisika (Bu Neni) yang sangat menyayangiku, bahkan aku dijuluki sebagai ‘master fisika’ dan ‘anak Bu Neni’ oleh teman-teman saat itu, beliau menyarankan aku untuk kuliah melihat prestasiku yang sangat bagus, lalu Pak Iriansyah guru BK, beliau menyuruhku untuk ikut seleksi beasiswa dan sangat menyarankan aku untuk kuliah, dan Bu Neneng guru matematika yang juga begitu sayang padaku, beliau sangat kecewa mendengar pernyataanku, beliau menyarankan aku untuk ikut beasiswa, konsultasi dengan guru BK, jangan memikirkan biaya, yang penting kamu punya niat. Selain itu, teman-temanku juga sama. Mereka sangat menyayangkan jika aku berhenti sekolah. Mereka ingin aku kuliah. Inilah kalimat-kalimat yang sering kudengar dari teman-teman:
“iis kamu harus kuliah! Kamu pinter is! Ga usah mikirin biaya! Banyak beasiswa is, tenang aja.. kuliah yah?”
“is, coba aku jadi kamu da! Pasti ga akan mikir-mikir lagi! Udah pasti mau banget kuliah”
“is, tukeran otak yu! Seenggaknya buat SNMPTN aja deh, mau ga?”
“is kenapa sih ga mau kuliah? Sayang banget tau! Kamu tuh pinter! Yang penting punya kemauan. Karena dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan”
“is kalo kamu kerja sekarang tuh bayarannya dikit is, percuma! Mending kamu kuliah dulu, jadi sarjana, baru kerja. Upahnya lebih gede is! Sayang banget kalo kamu ga kuliah cuma karna masalah biaya, ayo is smangat! Kuliah kuliah!”
Pokoknya banyak banget teguran dan nasehat dari teman dan guruku. Aku mulai bingung, tekad bulatku untuk bekerja pun mulai goyah. Semua nasehat dan teguran itu aku cerna baik-baik. Dan memang banyak benarnya, aku bingung! Mamah menyarankanku untuk bekerja, ayah yang tidak suka gaya seorang mahasiswa membuatku bertekad untuk tidak kuliah, tapi disisi lain, guru-guruku, teman-temanku, mereka membuatku ingin kuliah. Aku bingung!!. Hingga akhirnya aku menemukan jalan keluar. Setelah memikirkan dan menimbang segala konsekuensi yang akan aku dapat, akhirnya aku memutuskan untuk mencoba kuliah.
Sebenarnya saat itu, hatiku belum sepenuhnya bertekad untuk kuliah, malah hatiku lebih cenderung ingin bekerja daripada kuliah. Tapi melihat pengorbanan guru-guruku yang begitu memperjuangkan aku dan tak henti-hentinya menyemangatiku (Pak Iriansyah yang mengenalkan aku dengan bea-studi etos, Bu Neneng yang memberiku uang untuk SNMPTN, bahkan Bu Cucu yang siap membantu uang perkuliahanku), membuatku akhirnya memilih untuk mengikuti mau mereka, apalagi Bu Cucu yang sudah membiayai sekolahku, mungkin dengan ini aku bisa membalas sedikit kebaikan mereka. Meski harus menyakiti perasaanku sendiri yang sebenarnya ga mau kuliah, juga mungkin menghianati Mamah dan Ayah yang slalu menasehatiku untuk bekerja saja. Maaf ya Mah..
Aku pun mulai mengikuti saran Pak Iriansyah untuk ikut seleksi bea-studi etos. Bersungguh-sungguh melengkapi segala berkas-berkas persyaratan yang harus dikumpulkan. Tapi aku masih setengah hati, karena belum mendapat dukungan dari keluarga. Sampai akhirnya suatu malam aku mengatakan semuanya pada kedua orangtuaku, aku bilang kalo saat ini aku sedang mengikuti seleksi beasiswa untuk kuliah. Saat itu orangtuaku kaget, keduanya hanya diam tak memberiku solusi dan dukungan, bahkan keduanya berlalu meninggalkanku. Mamah beranjak ke rumah kakakku –yang sebenarnya satu rumah dengan kami, tapi beda pintu–, lalu beliau meminta solusi dari kakakku. Entah apa yang mereka obrolkan disana, lalu akhirnya aku dipanggil dan disinilah aku diberi nasehat, solusi dan dukungan. Dengan penuh pertimbangan akhirnya keluargaku setuju aku kuliah. Bahkan Pak Iriansyah pun datang ke rumahku untuk meyakinkan Mamah bahwa anaknya ini mampu kuliah, jangan pernah menghawatirkan soal biaya, yang penting semangatin aja iisnya, begitu kurang lebih nasehatnya.
Setelah segala persyaratan dipenuhi, akhirnya aku mendapat kabar bahwa aku lolos seleksi pertama, kemudian akan ada seleksi selanjutnya, yaitu tes tulis dan wawancara di asrama etos putra. Pak Iriansyah lah yang setia menemaniku dan mengantar-jemput aku ke asrama etos. Beberapa hari kemudian setelah seleksi tahap dua itu selesai, aku mendapat kabar bahwa aku lolos seleksi tersebut, dan akan ada seleksi tahap tiga yaitu survey ke rumah, dan akupun lolos seleksi ini. Kini tinggal mengikuti SNMPTN dan menunggu hasilnya.
***
Bu Neneng yang membiayai formulir SNMPTNku, Pak Iriansyah yang membimbingku mengisi formulir yang asing ini, Bu Cucu yang selalu memberiku semangat, keluargaku yang juga kini sangat benar-benar kurasakan dukungannya. Aku sangat berterimakasih untuk itu semua. Aku mulai membulatkan hati bahwa inilah keputusan yang akan ku ambil, aku akan mengikuti SNMPTN. Sebenarnya aku sangat asing dengan kata itu, SNMPTN apa itu? Bahkan soal-soalnya seperti apa juga aku ga pernah tau, dan aku hanya punya waktu satu minggu untuk mempersiapkan SNMPTN ini. Tapi jujur aku ga belajar dengan sungguh-sungguh, entahlah.. mungkin karena hatiku belum siap menjadi seorang mahasiswa. Satu bulan kemudian setelah SNMPTN itu, tibalah pengumuman, semua orang sangat berharap aku diterima.
Dan pengumuman pun tiba. Aku ke warnet untuk melihat hasilnya, pelan-pelan ku ketikkan nomor formulirku, dan saat itu juga aku kaget melihatnya. Aku diterima!! Rasanya aku ingin menangis. Menangis yang tak ku mengerti arti tangisannya, apakah ini tangisan bahagia? Atau sedih? Atau takut? Atau apa? Semua rasa bercampur aduk tak ku mengerti. Setelah melihat hasil ini, aku langsung menghubungi Bu Neneng dan Pak Iriansyah bahwa aku diterima.
Esoknya aku ke sekolah. Dan masuklah aku ke ruang guru, lalu Bu Neneng menghampiriku dan merangkul, memeluk dan menciumiku dengan penuh bangga, lalu mengatakan pada semua guru disitu bahwa aku satu-satunya siswa yang lolos SNMPTN ke ITB. Seketika itu pula semua guru bergiliran menyalamiku, mengucapkan selamat, memeluk, mencium dan mendoakanku. Sungguh hal ini membuatku sangat terharu, semua kebanggaan ini, bisakah aku tetap mempertahankannya? Mampukah aku tidak mengecewakan guru-guruku kelak? Makasih Bu, Pak.. atas semua yang pernah kalian beri untukku.
***

Kemudian akupun memberi kabar ke pihak beastudi etos. Lalu aku dan teman-teman lain yang lolos seleksi tersebut diminta untuk hadir pada pertemuan pertama. Akupun berangkat kesana bersama Mamah. Sesampainya di asrama beastudi etos, aku sangat kaget. Aku adalah satu-satunya akhwat yang lolos tahun ini, satu-satunya! Subhanallah.. lalu berkenalanlah aku dengan semua etoser 2009. Akulah satu-satunya siswa SMAN 15 Bandung yang lolos seleksi beastudi etos, akulah satu-satunya siswa SMAN 15 Bandung yang lolos SNMPTN ke ITB, akulah satu-satunya akhwat yang menjadi etoser bandung angkatan 2009, akulah satu-satunya dari anggota keluargaku yang bisa merasakan bangku kuliah. Akulah satu-satunya! Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Aku bukanlah orang yang aktif berorganisasi, bukan orang yang sering jalan-jalan, bukan juga orang yang pandai bicara dan mengonsep suatu acara, jadi bagiku etos adalah wadah yang sangat luar biasa, disini aku bisa belajar melatih diri dan merasakan sendiri kegiatan-kegiatan tersebut. Awal pertama pindahan ke asrama putri etos Bandung, semua kakak etoser akhwat begitu welcome menerimaku, sebuah kesan pertama yang sangat bagus. Bahkan ketika itu, kami mengadakan jalan-jalan ke gunung tangkuban perahu sebagai hari penerimaan anggota baru. Etoser 2009. Itu merupakan kali pertama bagiku pergi kesana, karena aku tak pernah pergi kemana-mana, butuh uang untuk pergi-pergian, jadi aku selalu di rumah meski libur panjang tiba. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Disini juga aku dituntut untuk menjadi manusia yang lebih mandiri, tak lagi bergantung pada orangtua. mengatur uang pemasukkan dan pengeluaran sendiri, mencuci baju sendiri, mencari makan sendiri. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Setiap subuh kami solat berjamaah, membaca dzikir al-matsurot bersama dan mendengarkan kalimat-kalimat tausiyah yang terkonsep. Sungguh suatu hal yang baru bagiku, sehingga aku selalu bersemangat dan tak pernah mau melewatkan halaqah subuh ini, disini aku mendapat materi yang banyak tentang keislaman, mencoba mengerti arti hidup dan cara bertahan, aku benar-benar memperoleh banyak hal disini. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
 Lalu setiap Minggu sore ada pembinaan mingguan, banyak ilmu baru yang ku dapatkan dari pembinaan tersebut, pembinaan mingguan ini juga tentu saja membuatku selalu bersemangat mengikutinya, tak pernah aku lewatkan satu kali pun pembinaan tersebut, bahkan yang membuat semakin seru lagi, konsep acara dan pelaksanaannya saat itu dibuat oleh etoser, pendamping hanya memberikan tanggal pelaksanaan, tema, dan angkatan berapa yang bertugas sebagai panitia, sedangkan konsep acara, konsumsi, logistik, pembicara, dsb. diserahkan sepenuhnya pada etoser yang ditunjuk sebagai panitia. Sehingga pembinaan ini merupakan wadahku mencari ilmu dan wawasan, juga wadahku mengasah jiwa keorganisatoranku. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Selain itu, beberapa kali kami juga mengadakan rihlah, seperti ke curug dago, dan mendaki gunung tangkuban perahu. Etoser 2009 juga mengadakan acara halal bihalal etos Bandung, dan sosialisasi adanya anggota baru di asrama etos Bandung kepada masyarakat sekitar. Etos begitu banyak memberiku pengalaman yang baru, memberiku kesempatan menginjakkan kaki ke tempat-tempat indah yang belum pernah ku kunjungiku, memperkenalkanku dengan karakter-karakter orang yang berbeda, memperkuat rasa cintaku kepada agamaku. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Disini aku benar-benar mendapatkan banyak hal baru. Aku yang gaptek mulai mengenal banyak teknologi, bahkan berkat etos pulalah aku bisa tetap kuliah di ITB tanpa memikirkan biaya. Berkat etos juga aku tidak merepotkan orangtuaku. Mengurangi jatah pengeluaran yang harus ibuku keluarkan. Disini aku mulai mengenal yang namanya kartu ATM, cara menabung dan mengambil uang di bank, cara menggunakan kartu ATM dengan benar, semua itu adalah hal baru bagiku. Silahkan tertawa karena aku yang begitu gaptek ini, tapi memang seperti itulah aku. Etoslah yang memperkenalkanku dengan semua itu. Kakak-kakak akhwat yang membantuku belajar lebih banyak tentang cara menggunakan computer, flashdisk, kartu ATM, semua itu mereka ajarkan. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Belum lagi ada TENs (Temu Etos Nasional) yang membawaku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke Bogor, Depok, dan Jakarta. Itu adalah salah satu mimpiku, aku pernah punya keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di tanah metropolitan, melihat tugu monas secara langsung, aku juga ingin jalan-jalan di UI, dan etoslah yang mewujudkannya! Di TENs ini juga, etos mempertemukanku dengan saudara-saudaraku dari 9 daerah yang berbeda, mempelajari sedikit demi sedikit cara bicara dan bahasa mereka, mencoba membandingkan watak-watak yang ada di 9 daerah tersebut, menjalin hubungan persaudaraan dengan semuanya, mencoba mengenal 11 universitas ternama di Indonesia. TENs benar-benar memberiku banyak hal dan memberiku banyak motivasi. Inilah puncak kebanggaanku menjadi seorang etoser, meskipun etoser Bandung tak se keren etoser lain, tapi aku tetap bangga! Aku bisa mendapatkan semua ini dari etos, Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Teman-teman ku waktu SD dan tetanggaku banyak yang hamil sebelum nikah, banyak yang putus sekolah karena malas, banyak yang nikah muda, banyak yang stress karena jadi pengangguran, banyak yang ingin kuliah tapi tidak bisa. Berbeda denganku yang begitu beruntung. Bisa kuliah, mampu mandiri, selalu menjaga diri karena selalu mendapat pembinaan, memiliki banyak ilmu, wawasan, pengalaman dan kehidupan baru sebagai seorang etoser. Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser?
Guru-guruku begitu bangga, karena aku satu-satunya siswa yang lolos SNMPTN. Ayah ibuku begitu bangga, karena aku satu-satunya anggota keluarga yang bisa kuliah. Teman-teman yang bangga karena memiliki seorang teman mahasiswa ITB. Keluargaku yang bangga, karena aku bisa kuliah tanpa merepotkan mereka. Jadi… Bagaimana mungkin aku tidak bangga menjadi seorang etoser? Aku sangat bangga menjadi seorang etoser!!
Aku cinta etos! Aku bangga jadi etoser.. terimakasih etos..

Desember 2010
Iis Casmiati, Etoser 2009
Teknik Material ITB

AKULAH SATU-SATUNYA!!